Make Up dalam Kacamata Fiqih Kontemporer: Memahami Batasan Syariat dan Tujuan Penggunaannya

Make Up dalam Kacamata Fiqih Kontemporer: Memahami Batasan Syariat dan Tujuan Penggunaannya

Kecantikan dan berhias adalah fitrah manusia, khususnya kaum wanita. Sejak zaman dahulu, berbagai cara telah digunakan untuk mempercantik diri, mulai dari ramuan alami hingga produk modern. Di era kontemporer ini, industri make up berkembang pesat dengan inovasi yang tiada henti, menghadirkan berbagai produk dan teknik yang semakin kompleks, seperti make up harian, glamour make up, hingga permanent make up seperti sulam alis dan bibir. Perkembangan ini tentu memunculkan pertanyaan baru dalam ranah fiqih Islam: Bagaimana Islam memandang penggunaan make up di zaman sekarang?

Fiqih kontemporer hadir untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang tidak ditemukan secara eksplisit dalam nash-nash klasik. Pembahasan hukum make up memerlukan tinjauan mendalam terhadap berbagai aspek, mulai dari tujuan penggunaan, bahan yang terkandung, hingga dampak yang ditimbulkan. Artikel ini akan mengupas tuntas hukum penggunaan make up dari perspektif fiqih kontemporer, dengan menyoroti ‘illat (penyebab hukum), tashbih al-hukm (analogi hukum), dan dalil-dalil syar’i yang menjadi landasannya.

Fiqih Kontemporer dan Make Up: Sebuah Tinjauan Mendalam

Asas Umum Hukum Berhias dalam Islam

Islam adalah agama yang mencintai keindahan dan kebersihan. Allah SWT itu indah dan mencintai keindahan, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan.” (HR. Muslim). Prinsip dasar ini menjadi landasan bahwa berhias, termasuk menggunakan make up, pada dasarnya adalah mubah (diperbolehkan), selama tidak melampaui batas syariat. Berhias bisa menjadi sarana menjaga kebersihan, meningkatkan kepercayaan diri, dan menyenangkan pasangan.

Namun, kebolehan ini tidak mutlak. Ada batasan-batasan syariat yang harus diperhatikan, antara lain:

  • Tidak untuk tujuan tabarruj (memamerkan perhiasan secara berlebihan) di hadapan non-mahram yang dapat menimbulkan fitnah.
  • Tidak bertujuan menipu (tadlis), misalnya saat proses pinangan atau pernikahan.
  • Tidak mengandung bahan-bahan haram atau najis.
  • Tidak membahayakan kesehatan diri.
  • Tidak menyerupai lawan jenis (tasyabbuh bil rijal) atau menyerupai orang kafir secara spesifik dalam hal-hal yang menjadi ciri khas mereka.
  • Tidak mengubah ciptaan Allah (taghyir al-khalq) secara permanen yang dilarang.

Memahami ‘Illat (علّة) Hukum Penggunaan Make Up

Dalam ilmu ushul fiqh, ‘illat adalah sifat yang nampak dan sesuai, yang menjadi dasar penetapan hukum syariat. Memahami ‘illat sangat krusial dalam menentukan hukum suatu masalah kontemporer, termasuk make up. ‘Illat inilah yang menghubungkan antara kasus baru dengan hukum yang sudah ada.

Beberapa ‘illat yang menjadi pertimbangan dalam hukum make up antara lain:

  • ‘Illat Kebolehan: Meningkatkan keindahan diri, menjaga kebersihan, menyenangkan suami (bagi istri), atau menjaga penampilan yang pantas secara umum tanpa berlebihan. Selama tujuan ini tercapai tanpa adanya ‘illat pengharaman, maka hukumnya mubah.
  • ‘Illat Pengharaman:
    • Tabarruj (Pamer Berlebihan): Tujuan utama larangan adalah mencegah fitnah. Jika penggunaan make up di hadapan non-mahram justru menarik perhatian berlebihan dan membangkitkan syahwat, maka hukumnya haram.
    • Tadlis (Penipuan): Jika make up digunakan untuk menipu orang lain, misalnya menyembunyikan kekurangan signifikan saat proses pinangan, maka hukumnya haram.
    • Tasyabbuh (Menyerupai yang Dilarang): Jika make up digunakan untuk menyerupai orang kafir dalam hal-hal yang menjadi ciri khas keagamaan atau budaya mereka yang bertentangan dengan Islam, atau menyerupai lawan jenis, maka hukumnya haram.
    • Dharar (Bahaya): Jika bahan atau metode penggunaan make up terbukti membahayakan kesehatan kulit atau tubuh, maka hukumnya haram berdasarkan kaidah “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.”
    • Taghyir al-Khalq (Mengubah Ciptaan Allah): Ini adalah ‘illat penting yang sering dibahas dalam permanent make up. Jika make up bersifat permanen dan secara signifikan mengubah bentuk asli ciptaan Allah tanpa alasan medis yang syar’i, maka hukumnya haram, sebagaimana larangan mencabut alis secara total untuk tujuan kosmetik atau mentato.
    • Najis atau Haram: Jika produk make up mengandung bahan najis (misalnya turunan babi) atau haram (misalnya alkohol dalam kadar memabukkan yang masih diyakini najis oleh sebagian ulama), maka penggunaannya haram.

Tashbih al-Hukm (Analogi Hukum) dalam Isu Make Up

Tashbih al-hukm, atau qiyas (analogi), adalah metode pengambilan hukum dengan menyamakan suatu masalah baru yang tidak ada nash-nya dengan masalah lama yang sudah ada hukumnya, karena adanya ‘illat yang sama. Dalam konteks make up, qiyas sering digunakan:

  • Analogi dengan Perhiasan Tradisional yang Mubah:

    Penggunaan make up seperti bedak, lipstik, atau perona pipi dapat dianalogikan dengan perhiasan tradisional yang diperbolehkan seperti kohl (celak mata), henna (pacar), atau wewangian. ‘Illat kebolehan pada keduanya adalah untuk mempercantik diri, menjaga penampilan, dan menyenangkan suami, selama tidak berlebihan dan tidak menimbulkan fitnah di hadapan non-mahram. Oleh karena itu, make up yang bertujuan serupa dan tidak melanggar batasan syariat lainnya, hukumnya mubah.

  • Analogi dengan Perbuatan yang Diharamkan:

    Pada kasus permanent make up seperti sulam alis atau sulam bibir, banyak ulama menganalogikannya dengan tato yang diharamkan. ‘Illat pengharaman pada tato adalah taghyir al-khalq (mengubah ciptaan Allah) dan dapat menghalangi air wudu. Jika permanent make up juga memenuhi ‘illat ini—yakni mengubah bentuk alis atau bibir secara permanen dan bukan sekadar menutupi cacat yang signifikan, serta dapat menjadi penghalang air wudu—maka hukumnya haram.

    Namun, ada perbedaan pendapat. Sebagian ulama membedakan jika sulam alis hanya mengisi bagian yang kosong agar terlihat lebih rapi (bukan membentuk total) dan tidak sampai menembus kulit secara permanen seperti tato tradisional, serta tidak menghalangi air wudu. Tetapi pandangan mayoritas tetap cenderung pada kehati-hatian karena khawatir masuk dalam kategori taghyir al-khalq.

Dalil-Dalil Syar’i yang Mendasari Hukum Make Up

Penetapan hukum penggunaan make up didasari oleh beberapa dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah:

  • Larangan Tabarruj:

    Firman Allah SWT:
    “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.” (QS. An-Nur: 31)
    “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (QS. Al-Ahzab: 33)

    Ayat-ayat ini melarang wanita menampakkan perhiasan secara berlebihan (tabarruj) di hadapan non-mahram. Mayoritas ulama menafsirkan “yang biasa nampak daripadanya” adalah wajah dan telapak tangan, namun ini pun dengan batasan tidak dihias secara berlebihan yang mengundang syahwat. Maka, make up yang sederhana dan tidak mencolok di area wajah yang boleh terlihat, umumnya diperbolehkan, sementara yang berlebihan untuk pamer hukumnya haram.

  • Larangan Mengubah Ciptaan Allah:

    Firman Allah SWT tentang perkataan setan:
    “Dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya.” (QS. An-Nisa: 119)

    Ayat ini menjadi dasar larangan mengubah ciptaan Allah secara permanen tanpa alasan yang syar’i (seperti mengobati penyakit atau mengembalikan fungsi anggota tubuh). Hadits Nabi SAW juga mengutuk wanita yang mencabut atau menyambung rambut untuk tujuan kecantikan yang berlebihan, yang diartikan sebagai mengubah ciptaan Allah.

    Oleh karena itu, tindakan seperti tato (termasuk permanent make up yang sifatnya mirip tato) yang secara permanen mengubah bentuk alis, bibir, atau mata, tanpa ada hajat (kebutuhan mendesak) seperti pengobatan, cenderung diharamkan oleh banyak ulama.

  • Larangan Tasyabbuh (Menyerupai yang Haram):

    Hadits Nabi SAW: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud).

    Dalil ini melarang penggunaan make up dengan gaya atau simbol yang secara spesifik merupakan ciri khas agama atau budaya non-muslim yang bertentangan dengan Islam, atau menyerupai lawan jenis.

  • Kecintaan Terhadap Kebersihan dan Keindahan:

    Hadits Nabi SAW: “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan, mencintai kebersihan.” (HR. Muslim).

    Dalil ini menjadi dasar kebolehan berhias secara umum, asalkan dalam batas yang wajar, tidak berlebihan, dan tidak melanggar batasan syariat lainnya.

Kesimpulan

Penggunaan make up dalam fiqih kontemporer bukanlah perkara hitam-putih haram atau halal mutlak, melainkan sebuah spektrum yang hukumnya sangat bergantung pada berbagai faktor. Islam membolehkan berhias dan menjaga keindahan, namun dengan batasan-batasan yang jelas. Inti dari penetapan hukum terletak pada ‘illat (penyebab hukum) yang mendasari penggunaan make up tersebut.

Jika make up digunakan untuk tujuan yang baik seperti menjaga kebersihan, mempercantik diri secara wajar, dan menyenangkan suami, tanpa ada unsur tabarruj, penipuan, bahaya, perubahan ciptaan Allah yang permanen, atau penggunaan bahan haram, maka hukumnya adalah mubah (dibolehkan). Sebaliknya, jika salah satu dari ‘illat pengharaman tersebut terpenuhi, maka hukumnya bisa menjadi makruh hingga haram.

Kasus permanent make up seperti sulam alis dan bibir memerlukan kehati-hatian ekstra, dengan mayoritas ulama cenderung mengharamkannya karena kekhawatiran akan taghyir al-khalq dan potensi menghalangi wudu, kecuali ada hajat yang dibenarkan syariat. Setiap muslimah dianjurkan untuk senantiasa mencari ilmu, memahami batasan syariat, dan berlaku bijak dalam memilih dan menggunakan produk make up, serta memprioritaskan kecantikan batin di atas kecantikan lahiriah.

TAGS: Fiqih Kontemporer, Hukum Make Up, Islam dan Kecantikan, Dalil Make Up, Tabarruj, Sulam Alis Hukum Islam, Kecantikan Muslimah, Wanita Muslimah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *